(Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Presiden Iran Hassan Rouhani--ANTARA/Wahyu Putro A)
HUBUNGAN perdagangan antara Indonesia dan Iran belum sepenuhnya berjalan maksimal. Karena itu pada kesempatan perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta, Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan bilateral dengan rekan sejabatnya dari Iran, Presiden Hassan Rouhani, untuk membahas isu perdagangan.
"Indonesia mendorong Iran untuk meningkatkan impornya dari produk Indonesia seperti palm oil, teh, kopi, dan kertas. Iran mengatakan akan mencari mekanisme yang terbaik untuk meningkatkan perdagangan kedua belah pihak," ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri, Armanatha Nasir, Kamis (23/4).
Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit, mengatakan kondisi perdagangan antara Jakarta dan Teheran masih belum setara. Pada 2011, nilai ekspor Iran ke Indonesia mencapai US$1 miliar atau surplus, sementara volume ekspor kita ke negara itu hanya US$800 juta atau defisit.
Seharusnya, lanjut Dian, volume perdagangan antar kedua negara bisa lebih besar mengingat Jakarta dan Teheran sama-sama memiliki banyak produk yang bisa ditawarkan satu sama lain. "Iran itu punya banyak bahan yang kita butuhkan, termasuk aspal, minyak dan gas (migas), dan teknologi," ungkapnya.
Selama ini faktor yang menghambat pertumbuhan perdagangan antar kedua negara adalah soal sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) dan sekutu terhadap Iran. Tapi, kata Dian, seharusnya persoalan sanksi itu tidak menjadi soal karena pada kenyataannya Tiongkok dan Malaysia bisa melakukannya.
Dia mengakui Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para stakeholder terkait untuk menjajaki dan menggarap setiap potensi pasar 'Negeri Para Mullah'. Pada Mei atau Juni tahun ini, Menteri Perminyakan Iran Bijan Namdar Zanganeh akan bertolak ke Indonesia untuk menindaklanjuti kerja sama di bidang migas.
"Untuk bicara langsung, kita maunya apa dan bagaimana menyikapi sanksi supaya tidak ada negara yang dirugikan," kata Dian.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Iran sepakat membangun kilang minyak dan pabrik petrokimia di Indonesia. Kedua belah pihak juga menyepakati pembangunan perusahaan pabrik pupuk patungan (joint venture) di Iran nilai investasi US$700 juta dengan skala produksi 6.000 ton urea per hari.
Dian mengatakan sejumlah kerja sama tersebut belum terealisasi atau tertunda. Musababnya ketidakberanian pemerintah untuk menindaklanjutinya dalam tindakan yang konkret. "Nah, Presiden Jokowi sudah bilang kita akan lanjutkan (proyek-proyek yang tertunda)."
Indonesia mengundang investor Iran untuk masuk ke berbagai sektor di Indonesia, seperti infrastruktur, pelabuhan, dan listrik. Menurut Dian, banyak hal yang bisa dijajaki dari Iran karena negara itu memiliki sumber daya dan teknologi, termasuk di bidang persenjataan atau militer.
"Iran punya semua. Kita selalu tidak bisa menjawab kita maunya apa. Iran sudah siap, kita yang selalu tidak siap," tegas Dani.
Untuk itu, agar hubungan perdagangan antara kedua negara berjalan maksimal, Jakarta harus lebih aktif menghidupkan Iran-Indonesia Economic Joint Commission. Sejak terakhir kali dilaksanakan pada 2009 di Jakarta, kata Dian, forum tersebut tidak pernah bersidang lagi.
"Iran sebagai tuan rumah sudah siap, tinggal menentukan ayo dan kapan kita ketemu. Tapi Indonesia sampai sekarang tidak pernah jawab. Makanya tadi Presiden Joko bilang itu harus dilaksanakan," pungkasnya.
Bank khusus
Sebelumnya, Direktur Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Oktavian mengatakan pembangunan infrastruktur di kawasan Asia Afrika membutuhkan dana hingga US$8 triliun. Jumlah tersebut tak bisa ditalangi oleh baik Bank Dunia, IMF, atau ADB, yang hanya mampu menyediakan ratusan miliar dolar.
"Karena itu, perlu dibentuk bank khusus untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang digagas China bisa menjadi solusi yang tepat,†ungkapnya.
Menurut Yuri, masyarakat internasional menaruh minat luar biasa akan keberadaan AIIB. Bahkan, negara-negara Eropa, seperti Italia, juga bergabung dalam AIIB. Begitu pula dengan Amerika Serikat.
Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo, dalam pidato pembukaan KTT, mengatakan lembaga-lembaga keuagan dunia, seperti World Bank atau Bank Dunia, International Moneter Funds dan Bank Pembangunan Asia adalah lembaga usang. Selain menyebut usang, Joko Widodo menilai lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut sebaiknya tidak digunakan lagi.
"Pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF dan ADB adalah pandangan yang sudah usang dan perlu dibuang," tegas Presiden RI.
Jokowi menegaskan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika harus menghilangkan dominasi negara lain dan mereformasi arsitektur keuangan dunia. Dikatakan, hingga kini, tatanan ekonomi dunia masih menampilkan ketidakadilan. Negara-negara kaya seolah memiliki posisi yang lebih tinggi dan bisa menentukan perekonomian global.
Tiongkok beberapa waktu lalu sudah berinisiatif untuk membentuk lembaga keuangan pendukung pembangunan infrastruktur kawasan Asia yaitu AIIB. Indonesia dan sejumlah negara di dalam maupun luar regional Asia dikabarkan sepakat membentuk AIIB. Langkah ini dilakukan, agar Asia punya lembaga keuangan sendiri. (Q-1)