Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
MEDIA Research Center (MRC), lembaga di bawah Media Group, Selasa (1/12), menggelar diskusi forum terfokus (focus group discussion/FGD) dengan tema Restorasi hukum: inisiatif Kejaksaan Agung.
FGD yang berlangsung di kantor Media Indonesia, Jakarta, itu diikuti 32 peserta yang terdiri dari pakar hukum, anggota DPR, mantan pimpinan KPK, LSM, dan mahasiswa.
Laporan hasil diskusi tersebut diturunkan mulai hari ini hingga Senin (7/12).
MERAIH kepercayaan publik tidak mudah. Publik memiliki paramater, persepsi, dan caranya sendiri dalam memberi penilaian.
Apalagi untuk institusi penegakan hukum, standar nilai publik lebih tinggi.
Salah satu persoalan besar pada kejaksaan ialah merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.
Namun, menurut Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Adi Toegarisman, secara kuantitatif pemberitaan terhadap Kejaksaan Agung sebenarnya sudah cukup bagus, 22% bersifat positif, 17% negatif, dan sisanya netral.
"Masalahnya, apakah ini (pemberitaan ) sudah menjadi penilaian masyarakat?" kata Adi Toegarisman.
Berangkat dari kondisi itu, Adi menduga kepercayaan publik yang rendah terhadap Kejagung dipengaruhi hal lain.
Salah satunya UU KUHAP, yang berimbas pada tidak maksimalnya tugas dan fungsi dari kejaksaan.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ganda Upaya menekankan pentingnya inovasi dan kreativitas dalam membangun kepercayaan publik.
Kejaksaan Agung harus melakukan kedua hal itu untuk meraih public trust, baik melalui media massa maupun media sosial.
Selama ini, kata Ganda, ada stigma negatif yang melekat di benak publik terhadap Kejaksaan Agung sehingga publik kehilangan kepercayaan.
"Memang sulit keluar dari stigma negatif masyarakat. Namun, melalui prestasi, Kejagung pasti bisa keluar dari masalahnya," ujar Ganda.
HASIL FGD menunjukkan 43,1% peserta menilai masalah utama kejaksaan terkait dengan kepercayaan publik, 29% berhubungan dengan masalah legislasi, dan 27,9% masalah kelembagaan.
Sebanyak 23,7% peserta menilai publik tidak percaya lagi pada kredibilitas jaksa, dan 18,8% menilai kejaksaan sebagai alat kepentingan kekuasaan.
Ada sejumlah terobosan yang diharapkan mengubah pandangan publik itu, antara lain dibentuknya tim satuan tugas khusus (satgasus) korupsi.
Namun, keberhasilan satgassus ini tidak banyak diketahui publik.
Sebanyak 21% peserta FGD menilai publik tidak mengetahui kinerja satgassus dan 18,8% menilai penanganan perkara tidak transparan.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah, untuk meraih kepercayaan publik, kejaksaan senantiasa berpegangan pada kebenaran.
Jangan sampai demi meningkatkan kepercayaan publik, kejaksaan lupa tugas dan fungsinya menegakkan hukum.
"Meski langit runtuh, undang-undang harus ditegakkan. Jangan sampai penegak hukum terlalu banyak digeser kepada fungsi marketing-nya," kata dia.
Mantan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara mengingatkan, ada tiga kekuatan di masyarakat: negara (state), pasar (market), dan civil society (publik).
Tiga kekuatan ini harus harmonis dan bergerak seimbang. Kejaksaan sebagai representasi negara tidak bisa terisolasi dari dinamika pengaruh pasar dan publik.
Agar bisa menghadapi tekanan itu (dari pasar, publik, maupun negara atau kekuasaan), kejaksaan harus berpegangan pada hukum dan etika.
Dari internal kejaksaan harus ada satu kekuatan gerakan yang mendorong pada sebuah perubahan.
Lemah di dalam
Kepercayaan publik tidak boleh diabaikan.
Kendati demikian, kondisi itu tidak bisa hanya dibebankan pada kejaksaan.
Ini tugas bersama pemerintah dengan partai koalisinya, kejaksaan, penegak hukum lain, dan di-back-up parlemen.
E Sundari, Direktur LBH Universitas Atmajaya, mengatakan merosotnya kepercayaan publik itu akibat perilaku jaksa.
Sejumlah jaksa terlibat kasus suap dan lemah dalam menuntut kasus korupsi sehingga banyak pelakunya divonis bebas.
Bukankah lahirnya KPK bermula dari ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan (dan kepolisian) memberantas korupsi?
Untuk itu, Sundari menyarankan Undang-Undang Kejaksaan diubah.
Kejaksaan bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka kepada presiden, DPR, dan BPK.
Tak kalah penting, lanjutnya, kejaksaan juga terganggu independensinya karena masuk Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (dahulu muspida/musyawarah pimpinan daerah).
Kejaksaan menjadi pakewuh memeriksa pejabat yang berkuasa.
Kendati kejaksaan kerap mendapat tudingan negatif, Abdul Hakim Garuda Nusantara menilai kejaksaan sebenarnya merupakan korban dari situasi nasional yang tidak menguntungkan posisinya.
Hampir di setiap pergantian pemerintahan selalu ribut siapa yang harus memilih Jaksa Agung.
"Padahal, dalam undang-undang kejaksaan, syarat-syaratnya kan sudah ada. Kenapa masih jadi perdebatan?"
Hal itu terjadi karena dari tubuh kejaksaan sendiri lemah dan tidak membangun kekuatan dari dalam, sehingga tidak punya bargaining kuat untuk mengatakan, "Oke, Anda pemenang pemilu, Anda penguasa, tetapi saya adalah kejaksaan. Ini kriteria yang saya tuntut."
(Astri Novaria/MRC/X-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved